BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat abad ke-20 pada umumnya
sebagian dari dunia abad ke -20. Jika kita hendak memahami sesuatu tentang
duni, kita juga harus pula mengetahui tentang filsafatnya. Sebab filsafat
hanyalah didapat didalam dan diantara manusia yang berpikir.
Seperti kata-kata diatas: “Filsafat
tidak akan didapat selain didalam dan diantara manusia yang berpikir” Jadi,
binatang tidak akan sanggup berfilsafat dan Tuan boleh kita anggap terlalu
sempurna untuk mempunyai masalah-masalah dan untuk mencari jawabannya.
Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos
atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan,
pengetahuan, dan hikmah atau berarti.
Secara umum filsafat berarti upaya
manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin,
2001).
Epistimologi dapat didefenisikan
sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat dan
sahihnya pengetahuan. Secara sederhana yaitu bagaimana cara mempelajari,
mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi kemashalahatan manusia. Epistimologi
nilai artinya suber nilai yang dirujuk. Secara filosofis, sumber nilai berawal
dari akal manusia sendiri, karena manusia bertindak dengan pertimbangan
akalnya. Idealisme yang dipopulerkan oleh Plato secara substisional bersumber
dari akal. Karena pandangan idealisme tentang menerjemahkan segala hal yang ada
tanpa harus menunggu hasil pengalaman indra.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana
menyikapi etika dan nilai sebagai suatu cabang ilmu filsafat ?
- Bagaimana hubungan antara
etika dengan eksistensi manusia?
- Bagaimana
menjawab suatu persoalan etika dengan zaman sekarang menggunakan kajian
filsafat ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui cara menyikapi etika
dan nilai sebagai salah satu cabang ilmu filsafat.
2. Untuk
mengetahui perkembangan ilmu filsafat lebih khususnya di dalam etika dan nilai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Filsafat Nilai
Makna dari hidup adalah “nilai”,
sebagai hakikat harga diri dan keberlangsungan duniawi yang sejati. Makna nilai
secara filosofis adalah hakikat dari semua kehendak Tuhan yang secercah kehendak-Nya
telah tercurahkan kepada jiwa maFilnusia.
Ada yang mengatakan sebagai
teori nilai yang merupakan bagian aksiologi, karena pandangan tentang hakikat
pengetahuan perspektif nilai guna yang didampakkan. Fungsi dan manfaat yang
diperoleh dari ilmun pengetahuan merupakan tujuan akhir dari semua pengetahuan.
Betapa berharganya ilmu
pengetahuan, sehingga ajaran islam menetapkan sebagai kewajiban. Itu semua
sesungguhnya berhubungan dengan “nilai dari sebuah ilmu pengetahuan” bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu, aksiologi yang mencari hakikat nilai
diterjemahkan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan.
Istilah “nilai” dalam bahasa
inggris adalah “value”. Aslinya berasal dari bahasa latin “velere” atau
Perancis Kuno valio . RohmatMulyana, memaknai nilai secara denotative dengan
“harga”. Filsafat nilai adalah pembahasan tentang paradigm aksiologis atas
segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada yang menghubungkannya pada hakikat
fungsional seluruh pengetahuan.
Makna nilai dapat berupa keyakinan
relegius dan janji-janji deterministic dalam agama yang dianut seseorang dalam
berbagai perilakunya. Nilai dapat didefenisikan pula sebagai patokan normatif
yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di anatara cara-cara
tindakan alternatifnya.
Ada lima hal yang perlu
diperhatikan kaitannya dengan makna nilai secara aksiologis, yaitu:
· Nilai
sebagai panduan hidup manusia
· Nilai
sebagai tujuan hidup manusia
· Nilai
sebagai pilihan normatif tindakan manusia
· Nilai
sebagai hakikat semua pengetahuan
Nilai sebagai kesadaran tertinggi
dari seluruh kesadaran manusia tentang motif-motif dan bentuk sebuah tindakan
yang berakar pada nalar dan tolok ukur yang menjadi jaminan tercapainya tujuan
perilaku.
Lima aspek dari makna nilai di atas
adalah kesimpulan yang mengungkapkan hakikat nilai secara filosofis.
B. Epistimologi Nilai
Epistimologi sering juga disebut
teori pengetahuan. Epistimologi dapat didefenisikan sebagai dimensi filsafat
yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat dan sahihnya pengetahuan. Secara
sederhana yaitu bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu
bagi kemashalahatan manusia. Epistimologi nilai artinya suber nilai yang
dirujuk. Secara filosofis, sumber nilai berawal dari akal manusia sendiri,
karena manusia bertindak dengan pertimbangan akalnya. Idealisme yang
dipopulerkan oleh Plato secara substisional bersumber dari akal. Karena
pandangan idealisme tentang menerjemahkan segala hal yang ada tanpa harus
menunggu hasil pengalaman indra.
Rasionalisme empiris sama sekali
belum menyadari tentang adanya keberadaan yang berasal dari sesuatu di luar
realitas yang indrawi. Kenyataannya, banyak hal yang tidak tergambarkan oleh
rasio dan tidak tersentuh oleh indra, tetapi hal itu menjadi bagian dari pengalaman
yang sifatnya personal.
Nilai religius bagian yang tidak
dapat ditinggalkan dalam pengetahuan manusia sepanjang sejarah. Augustinus
berprinsip bahwa kebenaran tertinggi adalah berasal dari hukum-hukum Tuhan.
Oleh karena itu, nilai dari pengetahuan dihargai karena memiliki substitusi
teologis. Tanpa itu semua, pengetahuan dan kebenaran yang dimaksudkan tidak
bernilai.
Filsafat nilai adalah kajian aksiologis
yang mengedepankan jawaban atas pertanyaan,
untuk apa pengetahuan dicari? Mengapa harus mengamalkan pengetahuan? Apa
manfaatnya bagi kehidupan manusia? Teori nilai yang mencakup dua cabang, yaitu
etika dan estetika. Yang pertama membicarakan baik buruk perbuatan manusia,
yang kedua membahas keindahan dan seni dalam kehidupan manusia.
Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa
ada empat pendekatan dalam menilai suatu pendapat moral, yaitu:
1.
Pendekatan empiris-deskriptif,
menyelidiki pandangan umum tentang moralitas yang berlaku, dampak dari
mengikuti atau mengingkari norma yang telah menjadi sistem sosial.
2.
Pendekatan fenomenologis, penyelidikan
tentang kesadaran moral secara subjektif.
3.
Pendekatan normatif, penyelidikan
tentang norma sosial yang berlaku umum.
4.
Pendekatan mata etika, penyelidikan tentang kebenaran
moral di luar dirinya.
C.
Pengertian
Etika
Secara etimologi, etika berasal
dari bahasa Yunani, “Ethos” yang berarti adat, kebiasaan kesusilaan.
Pengertian terminologi etika menunjukkan pada tingkah laku yang didasarkan pada
penilaian baik dan benar. Istilah ini di populerkan oleh Aristoteles. Pada
perkembangan selanjutnya, seorang ahli filsafat, Cicero mengenalkan istilah Moralis yang
kurang lebih bermakna sama. Dalam pandangan normatif, segala sesuatu mempunyai
nilai-nilai yang dijadikan asumsi dasar dalam implementasi (Bagus, Lorenz:
2005).
Etika (ethos) adalah sebanding
dengan moral (mos) di mana keduanya
merupakan filsafat tentang adat kebiasaan. Moralitas berasal dari kata
mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti ‘adat istiadat’ atau
‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian ini, etika dan moralitas sama-sama memiliki
arti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia
yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian
terwujud dalam pola perilaku yang tetap dan terulang dalam kurun waktu yang
lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan (Keraf, 1998).
Etika adalah bahasan tentang cermin
tingkah laku. Nilai baik dan buruk yang didasarkan pada rasio adalah etika.
Istilah-istilah etika diantaranya ialah:
· Akhlak,adalah
sebutan tentang perilaku baik dan buruk yang digunakan oleh agama.
· Moral,
asalnya morez, yakni tindakan, yakni penilaian baik dan buruk yang digunakan
dalam kehidupan social politik.Susila adalah istilah yang digunakan dalam
kaidah baik dan buruk yang merujuk pada ediologi pancasila.
· Norma,
ukuran baik dan buruk yang digunakan dalam konsep kebiasan masyarakat.
· Etika,
ukuran baik dan buruk menurut akal.
Etika juga berarti “timbul dari
kebiasaan” adalah cabang utama dari filsafat yang mempelajati nilai atau
kualitas. Etika mencakup analisis dan peranan konsep seperti benar, salah,
baik, buruk dan tanggungjawab.
Dengan demikian, pandangan baik dan
buruk, dan hakikat nilai dalam kehidupan manusia sangat tergantung pada tiga
hal mendasar yaitu:
a. Cara
berpikir yang melandasi manusia dalam berprilaku
b. Cara
berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma sosial.
c. Cara
merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam bertindak.
Pengertian etika juga dikemukakan
oleh Sumaryono (1995), etika berasal dati istilah Yunani ethos yang mempunyai
arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut,
etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia berdasarkan
kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai
manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang
menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia
yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi,
etika dapat dibedakan antara etika
perangai dan etika moral.
a.
Etika
Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat
atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat
di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut
diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian
perilaku. Contoh etika perangai :
a. berbusana adat,
b. pergaulan muda-mudi,
c. perkawinan semenda,
d. upacara adat.
b. Etika
Moral
Etika moral berkenaan dengan
kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila
etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan
tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.
Contoh etika moral:
a. berkata dan berbuat jujur
b. menghargai hak orang lain
c. menghormati orangtua dan guru
d. membela kebenaran dan keadilan
e. menyantuni anak yatim/piatu.
Etika adalah bagian dari filsafat
yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma dan moralitas.
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam
melihat dan mengamati nilai dan norma moral tersebut serta
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral
itu (Aji dan Sabeni, 2003).
Sebagai cabang filsafat, etika
dapat dibedakan menjadi dua: obyektivisme
dan subyektivisme. Menurut pandangan
yang pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan bersifat obyektif yaitu terletak pada substansi perbuatan itu sendiri. Paham
ini melahirkan rasionalisme dalam etika, suatu perbuatan dianggap baik, bukan
karena kita senang melakukannya, tetapi merupakan keputusan rasionalisme
universal yang mendesak untuk berbuat seperti itu. Sedangkan aliran subyektivisme berpandangan bahwa suatu
perbuatan disebut baik bila sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek
tertentu baik subyek Tuhan, subyek kolektif seperti masyarakat maupun subyek
individu (Muhammad, 2004).
Persoalan etika itu pula merupakan persoalan yang berhubungan
dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu maupun
masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia dan
dirinya (Musa, 2001).
Etika juga dapat dibagi menjadi
etika umum dan etika khusus, etika
khusus dibedakan lagi menjadi
dua yaitu etika individual dan etika sosial. Pembagian etika menjadi
etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Frans Magnis Suseno (1993) dengan istilah
etika deskriptif. Frans Magnis
Suseno (1993) menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang
prinsip-prinsip dasar dari moral,
seperti tentang pengertian
etika, fungsi etika,
masalah kebebasan, tanggung jawab,
dan peranan suara
hati. Sedangkan etika khusus
menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral
itu pada masing-masing
bidang kehidupan manusia.
Etika umum menjelaskan tentang
kajian bagaimana manusia bertindak secara
etis, sedangkan etika khusus mengkaji tentang penerapan-penerapan
prinsip-prinsip moral dasardalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam etika
umum, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar menjadi pegangan bagi
manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya suatu tindakan.
Sedangkan dalam etika khusus, prinsip-prinsip moral dasar tersebut diterapkan
dalam wujud bagaimana untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang
kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori
dan prinsip-prinsip moral dasar, serta prinsip-prinsip moral dasar tersebut
digunakan untuk bagaimana menilai perilaku diri sendiri maupun perilaku orang
lain dalam berbagai kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatar belakangi oleh
kondisi yang memungkinkan manusia untuk bertindak etis. Etika umum lebih
terfokus pada kondisi-kondisi dasar manusia dalam bertindak secara etis serta
teori-teorietika dan prinsip-prinsip moral dasar digunakan sebagai pegangan
bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya
suatu tindakan. Sedangkan etika khusus lebih terfokus pada penerapan
prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Maka dari itu setidaknya terdapat
empat alasan perlunya etika pada zaman ini, yaitu :
1. Individu
hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di dalamnya di bidang
moralitas.
2. Pada
saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung
sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang mengenai semua segi
kehidupan.
3. Bahwa
proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering dipergunakan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing dalam air keruh.
4. Etika
juga diperlukan oleh kaum agamawan (Franz Magnis Suseno, 1993).
Untuk menjawab persoalan etika
adalah sebagai berikut:
Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan
etika deskriptif (descriptive ethics), yaitu mempelajari perilaku
pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan perilaku kelompok atausocial
morality. Dengan menganalisa bermacam-macam aspek dari perilaku manusia, antara
lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan.
Kedua, pengertian perilaku moral seperti di
atas harus dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika normatif). Apa yang
seharusnya dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang
harus dipakai dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah
cara hidup yang baik yang harus dilakukan.
Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis.
Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar, atau
bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984).
Lebih jelas, lingkup persoalan
etika dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Etika
Deskriptif
Etika deskriptif sering menjadi
bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan
terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan
yang dapat ditemukan dilapangan penelitian. Secara deskriptif dimaksudkan untuk
mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik yang berlaku
atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif melukiskan tingkah laku
moral dalam pengertian luas, seperti dalam adat kebiasaan, atau
tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif adalah ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha untuk membuat deskripsi
yang secermat mungkin tentang yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang
ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif
hanya melukiskan tentang suatu
nilai dan tidak memberikan penilaian.
2.
Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu
yang mempunyai ukuran atau norma standar yang dipakai untuk menilai suatu
perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok orang. Dalam hal ini etika
normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau
yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Etika normatif
tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari luar sistem nilai
etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri dengan mengemukakan
penilaian tentang perilaku manusia.
3. Etika
praktis
Etika praktis mengacu pada
pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika
berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya
sehari-hari.
4. Etika
Individual dan Etika Sosial
Adalah etika yang bersangkutan
dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di samping membicarakan kualitas etis
perorangan saja, etika juga membicarakan hubungan pribadi manusia dengan
lingkungannya seperti hubungan dengan orang lain. Etika individu berhubungan
dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari perseorangan. Sedangkan etika
sosial berhubungan dengan tingkah laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai
bagian kesatuan yang lebih besar (Ahmad Charis Zubair, 1995).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Betapa berharganya ilmu
pengetahuan, sehingga ajaran islam menetapkan sebagai kewajiban. Itu semua
sesungguhnya berhubungan dengan “nilai dari sebuah ilmu pengetahuan” bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu, aksiologi yang mencari hakikat nilai
diterjemahkan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan.
Nilai relegius bagian yang tidak
dapat ditinggalkan dalam pengetahuan manusia sepanjang sejarah. Augustinus
berprinsip bahwa kebenaran tertinggi adalah berasal dari hukum-hukum Tuhan.
Oleh karena itu, nilai dari pengetahuan dihargai karena memiliki substitusi
teologis. Tanpa itu semua, pengetahuan dan kebenaran yang dimaksudkan tidak
bernilai.
Persoalan etika itu pula merupakan persoalan yang berhubungan
dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu maupun
masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame manusia dan
dirinya (Musa, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Beerling, R.F. 1966.
Filsafat Dewasa Ini. Jakarta: Balai Pustaka.
Kattsof,
Louis.O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogya: Tiara Wacana.
http://lifidasimahtuah.blogspot.com
http://akusayangyana.blogspot.com