Ketika Mukena Ungu Menjadi Cerita
“terimakasi…..h”
Suara lirih dan getaran diujung
kalimatnya terucap dari bibir tipis dan mungilnya, hampir-hampir aku tak
mengenalinya, tadi aku lihat dia berponi ada pita yang terpasang rapi dibagian
atas rambutnya menampakkan kesan lucu terhadap anak perempuan itu, tapi kini ia
berkerudung putih bersih, tangan kecinya menyodorkan untuk berjabat ke arahku,
kemudian tanganku dicium tulus tak tampak ada sebuah paksaan. Aku tersentuh dan
mengelus-elus pundak kecilnya.
“gak boleh berantem lagi lho
ya..?” pintaku kepada anak kecil perempuan itu.
Anggukan itu seperti jawaban
atas permintaanku tadi sebelum aku beranjak pergi meninggalkan mushola kecil
yang ada di sudut rumah-rumah yang berjejer rapi karena hari yang semakin gelap
ku lanjutkan perjalananku yang penuh hikmah di tengah hiruk pikuk dunia.
Pikiranku berkecamuk, berpikir dan lebih tepatnya berhayal andai semua orang
menyadari, mengerti dan dapat memahami mengamalkan sejatinya akan diri makhluk
sebagai khalifah di muka bumi yang dititipi amanah oleh Allah SWT dan sudah
diberi contoh oleh Rasulullah SAW.
Aku
terus berjalan melanjutkan perjalananku walaupun aku sadar banyak orang ada di
salam mushola itu bertanya-tanya siapa sosok aku ini ? Namun, aku tetap terus
berjalan yang diiringi doa dan sebuah harapan agar tercipta kedamaian di dunia
dengan mau belajar menggali potensi positif yang ada di setiap diri manusia
dengan bisa menciptakan perasaan nyaman dengan mendekat kepada Sang Pencipta
maha karya dengan ikhlas, sabar, istiqomah dan percaya pada pertolongan dari
janji Allah dan bukan hanya disibukkan dengan dunia sendiri.
“Punya
Aku…”
“Punya Aku !!”
“Punya AKU !!”
“PUNYA AKU !!!”
Kedua gadis cilik itu saling menarik kuat
2 lembar kain berbahan parasut disertai border putih yang terletak di pinggiran
kain itu yang dominan berwarna ungu membuat kain itu tampak semakin kusut.
Kedua matanya saling memicing tajam, badan mereka condong dan berdiri tegak
mengadu otot kecil, seakan menggambarkan rasa emosi yang ada di dalam hati dan
pikiran mereka. Tangan dan jemari mencengkram kain itu sangat erat. Gesekan
kakinya terseok-seok menginjak lantai licin berkramik krem polos di mushola
kecil, hingga hampir semua sajadah yang telah tertata rapi dalam satu baris
tersebut menjadi acak-acakan dan tak karuan lagi. Mereka juga saling dorong dan
tarik hingga mereka tidak sadar telah melewati batas hijab antara laki-laki dan
perempuan, mereka terus saling berebut tanpa memikirkan keberadaan mereka
sekarang. Banyak teman mereka yang berada di samping mereka ikut melerai
perkelahian mereka, namun semua hanya sia-sia dan percuma karena sifat keras
kepala yang terus mereka tunjukkan. Gadis cilik berkerudung instan berwarna
coklat yang sudah duduk di kelas 4 SD itu terus memegang kencang dan sangat
erat kain mukena ungu tersebut. Begitu juga dengan gadis kecil berponi dan
berambut panjang terus mencoba merebut kain mukena ungu, tadinya ia menggunakan
kerudung cantik dan sekarang terlepas begitu saja akibat perkelahian dengan
temannya.
Aku
memegang kedua bocah cilik itu, masih terlihat dengan jelas oleh mataku nafas
keduanya masih tersengal-sengal dan belum teratur. Padahal sisa-sisa iar wudhu
itu masih setia menempel di wajah polos
mereka.
“Mukena
ini punya siapa ?” tanyaku pada mereka dan berusaha merelai keduanya.
“Punya masjid mba…” jawab remaja
berhidung mancung itu.
Lili nama gadis cilik berponi
itu, seakan telah lelah dengan perkelahiannya dengan temannya yang bernama
Qilla. Kekuatannya mulai melunglai, rok bawahan mekuna itu jatuh terkulai lemas
di lantai.
Dengan
cepat dan sigap Qilla gadis berkerung instan coklat itu mengambilnya, bibirnya
menyungging puas disertai dada yang membusung bangga setelah mendapatkan apa
yang dia mau. Namun, Lili kembali semangat saat menyadari apa yang baru saja
terjadi, dia memang gadis yang cerdas saat itu juga dengan lincahnya ia
mengambil mukena putih milik Qilla yang bertengger sempurna di tembok di
sangkututkan pada sebuah paku yang sudah tersedia di tembok tersebut dan mukena
milik Qilla pun diambil sebagai jaminan atas rok mukena berwarna ungu yang
telah diambil oleh Qilla.
“Qilla,
lihat mukenamu aku ambil !” teriak Lili pada Qilla.
“Biarin
! ambil aja aku gak mau mukena itu,
kalau kamu mau ambil aja !” jawab Qilla dengan santai dan cuek atas ancaman
Lili dengan kalimat yang diucapnya
seperti orang yang sedang meledek.
Ditarik
kembali oleh Lili mukena ungu ditangan Qilla, mereka kembali berebut, jamaah
yang lain pun ikut heboh kembali.
“eh
jaran jarang jaran !”
Suara latah remaja berhidung
mancung itu keluar begitu saja tanpa permisi, karena tas mukena yang dia jinjing
terlempar dan membuat latah dia keluar. Mendengar hal itu semua yang ada di
dalam mushola tertawa riang di tengah ketegangan Lili dan Qilla bertengkar.
“diantara
kalian ada yang tau gak maksud dari kata-kata ini : dalam teko isi kopi keluar
kopi, dalam teko isi teh keluar teh, dan dalam teko isi susu pasti isisnya
susu. Gak bakalan ada keluar yang lain
kecuali dengan sulap?” tanyaku. Semua anak hanya tersenyum simpul mendengar
pertanyaan yang terllontar dariku. Ada beberapa yang menggeleng-geleng, ada
juga yang menggeridikkan bahu karena tidak tahu maksudnya.
“Seperti
itu juga isi otak kita, kalau kita membiasakan dengan hal-hal yang baik,
misalnya dengan melihat, mendengar, berjalan kearah yang baik maka yang keluar
dari diri kita juga bisa jadi menjadi baik juga, tapi sebaliknya jika dipikiran
kita terisi oleh hal-hal yang buruk atau
kurang baik maka yang keluar dari diri kita juga akan buruk. Misal, kebaikan
sering membaca, belajar atau yang lainnya bisa jadi otak kalian bisa merespon baik
sadar maupun tidak.”
“Iya
mba…” sahut salah satu anak.
“Masa
iya anak kecil latah, gak keren kan ? yang mba tau yang suka latah itu cuma
emak-emak yang sudah tua ya bisa dibilang nenek-nenek yang lansia” potongku.
“Hahahahahaha…”
Mereka terkekeh.
“Hussst
!! ketawanya biasa aja, gak boleh berlebihan nanti ada laler masuk kemulut kamu
kan bahaya !” sahut salah satu anak pada temannya.
Aku memang jamaah paling dewasa
saat itu, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam otakku.
Racun apa yang membuat mereka keras kepala ? Apa karena masih kecil hingga
belum paham dan nalar tentang hal semacam ini, hingga selalu mementingkan
dirinya sendiri tanpa peduli pada orang lain ? Ataukah mungkin mereka hanya
sedang mencari sebuah perhatian lebih dari orang sekelilingnya ? Entahlah hanya
mereka yang tahu akan diri mereka sendiri. Dan aku juga terheran dimana para
ibu yang harusya mendampingi mereka ? Sibuk, lagi haid, nifas ? Apakah para ibu
tidak menitip pesan pada putra-putri mereka untuk tetap menghormati masjid atau
mushola sebagai rumah Allah ?
“Hah..”
aku menghela nafas panjang.
Setelah
menghela nafas panjang dan teralihkan cerita latah ternyata tak membuat mereka
meredamkan amarahnya, malahan mereka kembali menjadi pusat perhatian, bertikai
lagi dan saling tarik-menarik lagi.
Tentu
saja aku tidak kehabisan ide untuk membuat mereka memberhentikan bertikaian
mereka
“Kalian
suit, dengan catatan siapa yang kalah nanti mba kasih uang Rp.2000 dan siapa
yang menang maka dialah yang berhak atas mukena ungu itu, hm bagaimana ?”
Sedikit menimbang atas tawaranku
tadi mereka sedikit tersenyum terlihat dari raut wajah mereka dan ada sedikit
tarikan pada bibir mungil mereka. Lili dan Qilla bersuit. Aba-aba biar aku yang
mandu.
“Su
it !!” gerak cepat mereka beraksi.
Jempol ketemu jempol
Telunjuk ketemu telunjuk
Kelingking ketemu kelingking
Hasil seri untuk mereka , jadi
aku belum bisa mementukan hasil siapa yang menang dan yang kalah. Mungkin
kejadian ini menjadi hal yang menarik untuk dijadikan sebagai tontonan bagi
seluruh jamaah hingga mereka sangat serius dalam memperhatikan seluk-beluk yang
terjadi sekarang.
Lagi, mereka kembali berebut
saling tarik kain mukena berwarna ungu tersebut, tidak ada yang mau mengalah,
layaknya batu yang sangat sukar untuk dihancurkan itulah mereka sekarang yang
sangat susah untuk diluluhkan. Benar-benar super sekali mereka sama-sama keras
kepala, aku mengelus-ngelus dada, dan dalam hati aku berdoa dengan sedikit
berharap.
“Mudah-mudahan
anakku nanti bisa menjadi anak yang sholeh/sholehah, cerdas, berparas cantik
atau tampan, dan juga menjadi anak yang penurut, dan aku bisa menjadi seorang
ibu yang baik, dan bijak untuk mereka.” Pikirku melayang hingga ke alam itu, ke
alam yang belum pernah aku rasakan dan aku hadapi. Masuk ke gerbang pernikahan
pun belum.
“Tolong
berhenti !!” aku memegang kedua bahu mereka, kemudian aku menggenggam erat
kedua tangan mereka, aku meminta mereka kembali untuk suit. Aku kembali
mengomando aba-aba.
“Su
it !!!”
Gerak
cepat beraksi
Telunjuk
ketemu telunjuk
Jempol
ketemu jempol
Aku sudah cemas dalam hati, aku
menggerutu dalam hati.
“Hah,
masa iya untuk ketiga kalinya harus seri berarti masalah ini tidak belum bisa
selesai dong?”
Telunjuk
ketemu kelingking
Telunjuk
untuk Lili dan kelingking untuk Qilla. Menurut aturan telunjuklah yang menang,
secara peraturan turun temurun telunjuk itu menggambarkan manusia dan
kelingking itu menggambarkan semut. Sejatinya Lililah yang menang dan berhak
atas mukena ungu itu, tapi sayang Qilla tetap membatu dan tidak mau mengalah
dengan merebut 2 kain berwarna ungu itu.
Aku
segera berjalan dan menuju tas kecil berwarna hitam yang bertengger di dinding
belakang, aku buka tas keccil hitamku dan mencari dompet abu-abu milikku
setelah ketemu ku buka dompet itu dan mengambil selembar uang Rp.2000 dan
kuserahkan pada Lili yang sudah berani untuk mengalah dan besar hati untuk
merelakan mukena ungu tersebut pada Qilla. Aku berikan senyum yang terbaik
untuk Lili dan Lili membalas senyumanku dengan senyuman yang kecut, hem baiklah
memang seperti itu anak kecil.
“Alangkah
baiknya kalau habis berantem wudhu lagi, kan habis dikuasai sama amarah tadi
biar setan yang disekitar badan kita bisa pergi dan hati kita bisa jadi tenang.
Sebentar lagi sholat mau dimulai. Ayo cepat !!” ucapku pada kedua bocah itu.
Qilla menciut dan menjauh dariku
begitupun Lili yang memilih barisan mendekat dinding. Akupun tidak bisa memaksa
mereka dan lebih memilih untuk membiarkan mereka.
“Allahu
Akbar Allahu Akbar, Asyhadu anllaa ilaaha illallah….” Suara bapak paro baya
yang mengumandangkan iqomah, kami segera merapikan barisan sholat karena
merapatkan barisan adalah sebagian dari kesempurnaan sholat. Ketika aku
menengok kebelakang sudah ada beberapa ibu-ibu yang menggelar sejadah. Sholat
jamaah magrib pun berjalan lancer dan khusyuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar