HELLO KITTY

HELLO KITTY
KITTY

Kamis, 17 Desember 2015

MUKENA UNGU



Ketika Mukena Ungu Menjadi Cerita

“terimakasi…..h”
Suara lirih dan getaran diujung kalimatnya terucap dari bibir tipis dan mungilnya, hampir-hampir aku tak mengenalinya, tadi aku lihat dia berponi ada pita yang terpasang rapi dibagian atas rambutnya menampakkan kesan lucu terhadap anak perempuan itu, tapi kini ia berkerudung putih bersih, tangan kecinya menyodorkan untuk berjabat ke arahku, kemudian tanganku dicium tulus tak tampak ada sebuah paksaan. Aku tersentuh dan mengelus-elus pundak kecilnya.
“gak boleh berantem lagi lho ya..?” pintaku kepada anak kecil perempuan itu.
Anggukan itu seperti jawaban atas permintaanku tadi sebelum aku beranjak pergi meninggalkan mushola kecil yang ada di sudut rumah-rumah yang berjejer rapi karena hari yang semakin gelap ku lanjutkan perjalananku yang penuh hikmah di tengah hiruk pikuk dunia. Pikiranku berkecamuk, berpikir dan lebih tepatnya berhayal andai semua orang menyadari, mengerti dan dapat memahami mengamalkan sejatinya akan diri makhluk sebagai khalifah di muka bumi yang dititipi amanah oleh Allah SWT dan sudah diberi contoh oleh Rasulullah SAW.
     Aku terus berjalan melanjutkan perjalananku walaupun aku sadar banyak orang ada di salam mushola itu bertanya-tanya siapa sosok aku ini ? Namun, aku tetap terus berjalan yang diiringi doa dan sebuah harapan agar tercipta kedamaian di dunia dengan mau belajar menggali potensi positif yang ada di setiap diri manusia dengan bisa menciptakan perasaan nyaman dengan mendekat kepada Sang Pencipta maha karya dengan ikhlas, sabar, istiqomah dan percaya pada pertolongan dari janji Allah dan bukan hanya disibukkan dengan dunia sendiri.
                 “Punya Aku…”
“Punya Aku !!”
“Punya AKU !!”
“PUNYA AKU !!!”
     Kedua gadis cilik itu saling menarik kuat 2 lembar kain berbahan parasut disertai border putih yang terletak di pinggiran kain itu yang dominan berwarna ungu membuat kain itu tampak semakin kusut. Kedua matanya saling memicing tajam, badan mereka condong dan berdiri tegak mengadu otot kecil, seakan menggambarkan rasa emosi yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Tangan dan jemari mencengkram kain itu sangat erat. Gesekan kakinya terseok-seok menginjak lantai licin berkramik krem polos di mushola kecil, hingga hampir semua sajadah yang telah tertata rapi dalam satu baris tersebut menjadi acak-acakan dan tak karuan lagi. Mereka juga saling dorong dan tarik hingga mereka tidak sadar telah melewati batas hijab antara laki-laki dan perempuan, mereka terus saling berebut tanpa memikirkan keberadaan mereka sekarang. Banyak teman mereka yang berada di samping mereka ikut melerai perkelahian mereka, namun semua hanya sia-sia dan percuma karena sifat keras kepala yang terus mereka tunjukkan. Gadis cilik berkerudung instan berwarna coklat yang sudah duduk di kelas 4 SD itu terus memegang kencang dan sangat erat kain mukena ungu tersebut. Begitu juga dengan gadis kecil berponi dan berambut panjang terus mencoba merebut kain mukena ungu, tadinya ia menggunakan kerudung cantik dan sekarang terlepas begitu saja akibat perkelahian dengan temannya.
Aku memegang kedua bocah cilik itu, masih terlihat dengan jelas oleh mataku nafas keduanya masih tersengal-sengal dan belum teratur. Padahal sisa-sisa iar wudhu itu masih setia  menempel di wajah polos mereka.
“Mukena ini punya siapa ?” tanyaku pada mereka dan berusaha merelai keduanya.
“Punya masjid mba…” jawab remaja berhidung mancung itu.
Lili nama gadis cilik berponi itu, seakan telah lelah dengan perkelahiannya dengan temannya yang bernama Qilla. Kekuatannya mulai melunglai, rok bawahan mekuna itu jatuh terkulai lemas di lantai.
     Dengan cepat dan sigap Qilla gadis berkerung instan coklat itu mengambilnya, bibirnya menyungging puas disertai dada yang membusung bangga setelah mendapatkan apa yang dia mau. Namun, Lili kembali semangat saat menyadari apa yang baru saja terjadi, dia memang gadis yang cerdas saat itu juga dengan lincahnya ia mengambil mukena putih milik Qilla yang bertengger sempurna di tembok di sangkututkan pada sebuah paku yang sudah tersedia di tembok tersebut dan mukena milik Qilla pun diambil sebagai jaminan atas rok mukena berwarna ungu yang telah diambil oleh Qilla.
     “Qilla, lihat mukenamu aku ambil !” teriak Lili pada Qilla.
     “Biarin ! ambil aja aku gak mau  mukena itu, kalau kamu mau ambil aja !” jawab Qilla dengan santai dan cuek atas ancaman Lili  dengan kalimat yang diucapnya seperti orang yang sedang meledek.
     Ditarik kembali oleh Lili mukena ungu ditangan Qilla, mereka kembali berebut, jamaah yang lain pun ikut heboh kembali.
     “eh jaran jarang jaran !”
Suara latah remaja berhidung mancung itu keluar begitu saja tanpa permisi, karena tas mukena yang dia jinjing terlempar dan membuat latah dia keluar. Mendengar hal itu semua yang ada di dalam mushola tertawa riang di tengah ketegangan Lili dan Qilla bertengkar.
     “diantara kalian ada yang tau gak maksud dari kata-kata ini : dalam teko isi kopi keluar kopi, dalam teko isi teh keluar teh, dan dalam teko isi susu pasti isisnya susu. Gak bakalan ada  keluar yang lain kecuali dengan sulap?” tanyaku. Semua anak hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan yang terllontar dariku. Ada beberapa yang menggeleng-geleng, ada juga yang menggeridikkan bahu karena tidak tahu maksudnya.
     “Seperti itu juga isi otak kita, kalau kita membiasakan dengan hal-hal yang baik, misalnya dengan melihat, mendengar, berjalan kearah yang baik maka yang keluar dari diri kita juga bisa jadi menjadi baik juga, tapi sebaliknya jika dipikiran kita terisi oleh hal-hal yang buruk  atau kurang baik maka yang keluar dari diri kita juga akan buruk. Misal, kebaikan sering membaca, belajar atau yang lainnya bisa jadi otak kalian bisa merespon baik sadar maupun tidak.”
     “Iya mba…” sahut salah satu anak.
     “Masa iya anak kecil latah, gak keren kan ? yang mba tau yang suka latah itu cuma emak-emak yang sudah tua ya bisa dibilang nenek-nenek yang lansia” potongku.
     “Hahahahahaha…” Mereka terkekeh.
     “Hussst !! ketawanya biasa aja, gak boleh berlebihan nanti ada laler masuk kemulut kamu kan bahaya !” sahut salah satu anak pada temannya.
Aku memang jamaah paling dewasa saat itu, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam otakku. Racun apa yang membuat mereka keras kepala ? Apa karena masih kecil hingga belum paham dan nalar tentang hal semacam ini, hingga selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli pada orang lain ? Ataukah mungkin mereka hanya sedang mencari sebuah perhatian lebih dari orang sekelilingnya ? Entahlah hanya mereka yang tahu akan diri mereka sendiri. Dan aku juga terheran dimana para ibu yang harusya mendampingi mereka ? Sibuk, lagi haid, nifas ? Apakah para ibu tidak menitip pesan pada putra-putri mereka untuk tetap menghormati masjid atau mushola sebagai rumah Allah ?
     “Hah..” aku menghela nafas panjang.
     Setelah menghela nafas panjang dan teralihkan cerita latah ternyata tak membuat mereka meredamkan amarahnya, malahan mereka kembali menjadi pusat perhatian, bertikai lagi dan saling tarik-menarik lagi.
     Tentu saja aku tidak kehabisan ide untuk membuat mereka memberhentikan bertikaian mereka
     “Kalian suit, dengan catatan siapa yang kalah nanti mba kasih uang Rp.2000 dan siapa yang menang maka dialah yang berhak atas mukena ungu itu, hm bagaimana ?”
Sedikit menimbang atas tawaranku tadi mereka sedikit tersenyum terlihat dari raut wajah mereka dan ada sedikit tarikan pada bibir mungil mereka. Lili dan Qilla bersuit. Aba-aba biar aku yang mandu.
     “Su it !!” gerak cepat mereka beraksi.
Jempol ketemu jempol
Telunjuk ketemu telunjuk
Kelingking ketemu kelingking
Hasil seri untuk mereka , jadi aku belum bisa mementukan hasil siapa yang menang dan yang kalah. Mungkin kejadian ini menjadi hal yang menarik untuk dijadikan sebagai tontonan bagi seluruh jamaah hingga mereka sangat serius dalam memperhatikan seluk-beluk yang terjadi sekarang.
Lagi, mereka kembali berebut saling tarik kain mukena berwarna ungu tersebut, tidak ada yang mau mengalah, layaknya batu yang sangat sukar untuk dihancurkan itulah mereka sekarang yang sangat susah untuk diluluhkan. Benar-benar super sekali mereka sama-sama keras kepala, aku mengelus-ngelus dada, dan dalam hati aku berdoa dengan sedikit berharap.
     “Mudah-mudahan anakku nanti bisa menjadi anak yang sholeh/sholehah, cerdas, berparas cantik atau tampan, dan juga menjadi anak yang penurut, dan aku bisa menjadi seorang ibu yang baik, dan bijak untuk mereka.” Pikirku melayang hingga ke alam itu, ke alam yang belum pernah aku rasakan dan aku hadapi. Masuk ke gerbang pernikahan pun belum.
     “Tolong berhenti !!” aku memegang kedua bahu mereka, kemudian aku menggenggam erat kedua tangan mereka, aku meminta mereka kembali untuk suit. Aku kembali mengomando aba-aba.
     “Su it !!!”
     Gerak cepat beraksi
     Telunjuk ketemu telunjuk
     Jempol ketemu jempol
Aku sudah cemas dalam hati, aku menggerutu dalam hati.
     “Hah, masa iya untuk ketiga kalinya harus seri berarti masalah ini tidak belum bisa selesai dong?”
     Telunjuk ketemu kelingking
     Telunjuk untuk Lili dan kelingking untuk Qilla. Menurut aturan telunjuklah yang menang, secara peraturan turun temurun telunjuk itu menggambarkan manusia dan kelingking itu menggambarkan semut. Sejatinya Lililah yang menang dan berhak atas mukena ungu itu, tapi sayang Qilla tetap membatu dan tidak mau mengalah dengan merebut 2 kain berwarna ungu itu.
     Aku segera berjalan dan menuju tas kecil berwarna hitam yang bertengger di dinding belakang, aku buka tas keccil hitamku dan mencari dompet abu-abu milikku setelah ketemu ku buka dompet itu dan mengambil selembar uang Rp.2000 dan kuserahkan pada Lili yang sudah berani untuk mengalah dan besar hati untuk merelakan mukena ungu tersebut pada Qilla. Aku berikan senyum yang terbaik untuk Lili dan Lili membalas senyumanku dengan senyuman yang kecut, hem baiklah memang seperti itu anak kecil.
     “Alangkah baiknya kalau habis berantem wudhu lagi, kan habis dikuasai sama amarah tadi biar setan yang disekitar badan kita bisa pergi dan hati kita bisa jadi tenang. Sebentar lagi sholat mau dimulai. Ayo cepat !!” ucapku pada kedua bocah itu.
Qilla menciut dan menjauh dariku begitupun Lili yang memilih barisan mendekat dinding. Akupun tidak bisa memaksa mereka dan lebih memilih untuk membiarkan mereka.
     “Allahu Akbar Allahu Akbar, Asyhadu anllaa ilaaha illallah….” Suara bapak paro baya yang mengumandangkan iqomah, kami segera merapikan barisan sholat karena merapatkan barisan adalah sebagian dari kesempurnaan sholat. Ketika aku menengok kebelakang sudah ada beberapa ibu-ibu yang menggelar sejadah. Sholat jamaah magrib pun berjalan lancer dan khusyuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar