Sistem
Mobilisasi dan Kontrol Serta Dampaknya Terhadap Masyarakat
Ø
Pengerahan Pemuda
a. Barisan Pemuda Asia Raya (BPAR)
Latihan-latihan yang diadakan di
Jepang untuk menanamkan semangat berpihak kepada Jepang di kalangankaum muda
adalah dalam Barisan Pemuda Asia Raya (BPAR). BPAR merupakan bagian dari
Gerakan 3A. BPAR dimulai dari tingkat pusat di Jakarta, sedangkan di
daerah-daerah dibentuk komite Penginsafan Pemuda yang anggotanya terdiri dari
unsure kepanduan. Di tingkat pusat, BPAR diresmikan pada tanggal 11 Juni 1942.
dan dipimpin oleh dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh.
Selain BPAR pemerintah Jepang juga
melakukan latihan lain yang diadakan oleh Gerakan 3A, yaitu San A Seinan
Kunrensho. Di tempat ini, kaum muda mendapatkan latihan selama setengah bulan.
Berbeda engan BPAR yang bersifat umum, latihan di
San A Seinan Kunrensho bersifat khusus. Latihan hanya ditunjukkan untuk kaum
muda yang pernah mengikuti salah satu organisasi, misalnya kepanduan.
Pelatihan pemuda semacam itu dilakukan
secara intensif, namun perkumpulan-perkumpulan kepanduan masih diperkenankan
berdiri dan melakukan kegiatannya. Kegiatan besar kepanduan adalah Perkemahan
Kepanduan Indonesia (Perkino) yang diadakan di Jakarta, bahkan pernah mendapat
kunjungan dari Gunseikan dan tokoh-tokoh empat serangkai.
Pada awal tahun 1943, Jepang mulai
lebih intensif dalam mengumpulkan dan mendidik kaum muda Indonesia di semua syu, bahkandi Jakarta Syu, disetiap Gun diadakan pendidikan pemuda. Semua usaha mengadakan gerakan
pemuda local tersebut dalam rangka persiapan membentuk gerakan pemuda yang
terpusat dengan satu pemimpin. Dalam masa persiapan itu, berbagai janji dan
harapan bagi para pemuda disiarkan secara luas.
b.
Seinendan
dan Keibodan
Pada
tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar Jepang, diumumkan
secara resmi pembentukkan dua organisasi pemuda, yaitu seinendan dan keibodan
merupakan organisasi kepemudaan semi-militer. Kedua organisasi itu langsung
dipimpin oleh gunseikan. Secara resmi disebutkan bahwa pembentukkan kedua
organisasi tersebut bertujuan untuk mendidik dan melatih pemuda agar dapat
menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Namun,
sebenarnya ada maksud yang tersembunyi, yaitu untuk mendapatka tenaga cadangan
sebanyak-banyaknya yang diperlukan bagi kemenangan perang Jepang.
Seinendan
beranggotakan pemuda-pemuda Asia yang berusia 15-25 tahun. Namun, usia
anggotanya diubah menjadi 14-22 tahun. Pada mulanya, anggota seinendan
beranggotakan sebanyak 3.500 orang yang berasal dari seluruh Jawa. Jumlah
tersebut berkembang menjadi 500.000 orang pemuda pada masa akhir kepemimpinan
Jepang. Pembentukkan Seinendan tidak semata-mata dibentuk di kota-kota dan di
desa-desa, akan tetapi di sekolah-sekolah, di pabrik-pabrik dan juga di
perumahan-perumahan. Pada bulan Oktober 1944 pemerintah Jepang juga membentuk
Josyi Seinendan (Seinendan Putri). Di dalam seinendan, kaum nasionalis masih
dapat menanamkan semangat nasionalisme, bahkan di markas besar seinendan duduk
beberapa orang-orang nasionalis muda, antara lain Soekarni dan Abdul Latief
Hendraningrat.
Badan
semi-militer lain yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang adalah keibodan.
Keibodan merupakan barisan pembantu polisi yang melakukan tugas-tugas
kepolisian, misalnya penjagaan lalu lintas dan pengamanan desa. Keibodan
beranggotakan pemuda-pemuda yang berusiakan 26-35 tahun. Jumlah anggota
keibodan diperkirakan sekitar 1.000.000 orang untuk. Untuk kalangan etnis Cina
dibentuk semacam keibodan, yaitu Kakyo Keibotai.
Berbeda
dengan seinendan, dalam pembentukkan keibodan itu tampak bahwa pemerintah
pendudukan Jepang berusaha agar tidak terpengaruh oleh kaum nasionalis. Hal itu
terlihat dari kenyataan bahwa keibodan dibentuk di desa-desa yang pada umumnya
para pemuda kurang mendapatkan pengaruh dari kaum nasionalis. Bahkan, kaum
nasionalis pada tingkat bawah pun tidak mempunyai hubungan dengan keibodan
karena badan ini langsung ditempatkan di bawah pengawasan polisi.
Selain
di Jawa, kedua badan tersebut juga dibentuk di Sumatra dan daerah-daerah yang
berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut. Di Sumatra, keibodan dikenal dengan
nama Bogodna. Di Kalimantan terdapat badan serupa disebut Borneo Konan
Hokokudan.
Selain
golongan pemuda, juga dilakukan pengorganisasian kaum wanita. Pada bulan
Agustus 1943 dibentuk fujinkai (himpunan wanita). Usia minimum dari anggota
Fujinkai adalah 15 tahun. Kepada wanita tersebut juga diberikan latihan-latihan
militer.
c.
Organisasi-Organisasi
Semi Militer Lainnya
Memasuki
tahun 1944, keadaan perang semakin genting. Satu demi satu daerah pendudukan
Jepang jatuh ke tangan sekutu, bahkan serangan mulai diarahkan langsung ke
negeri Jepang sendiri. Dalam keadaan demikian, pemerintah pendudukan Jepang
membentuk barisan semi-militer lainnya. Pada tanggal 1 November 1944, dibentik
barisan pelopor, kemudian pada tanggal 8 Desember 1944 dibentuk barisan berani
mati. Pada tanggal 15 Desember 1944, dibentuk Hizbullah yang merupakan barian
semi-militer dari kaum muda Islam dan Gakutotai atau Korps Pelajar.
Barisan
pelopor dibentuk sebagai hasil siding Cuo Sangi In pada pertengahan tahun 1944.
Barisan pelopor merupakan organisasi pemuda pertama yang dipimpin oleh
Ir.Soekarno, wakilnya R.P.Soeroso Otto Iskandardianata dan Dr. Buntaran
Martoatmodjo. Jumlah anggotanya diperkirakan sekitar 60.000 orang. Barisan
pelopor dapat dianggap sebagai organisasi yang merupakan perpanjangan dari Jawa
Hokakai. Barisan pelopor melatih kaum muda dengan latihan-latihan militer,
meskipun dengan menggunakan senapan dari kayu atau bambu runcing.
d.
Heiho
dan Peta
Pada
bulan April 1943, dikeluarkan pengumuman yang isinya memberikan kesempatan
kepada pemuda Indonesia untuk menjadi pembatu prajurit Jepang Heiho, baik
Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat-syarat menjadi anggota Heiho antara
lian berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25 tahun, dan
pendidikan terendah Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
Jumlah
anggota Heiho sejak didirikan sampai dengan berakgirnya pendudukan Jepang diperkirakan
sebanyak 42.000 orang. Anggota Heiho sebenarnya lebih terlatih dalam bidang
militer apabila dibandingkan dengan anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Hali itu karena kedudukannya sebagai pembantu prajurit Jepang paa waktu perang.
Diantara anggota Heiho ada yang bertugas sebagai pemegang senjata anti-pesawat
terbang, tank, artileri medan, dan penegmudi. Akan tetapi, tidak seornagpun
anggota Heiho yang berpangkat perwira, Kepangkatan itu juga yang membedakan
dengan PETA.
Menjelang
berakhirnya latihan angkatan kedua, keluar perintah dari Panglima Letnan
Jendral Kumakichi Harada kepada Tokubetsu Han untuk membentuk tentara PETA.
Pemerintah pendudukan Jepang menghendaki agar pembentukkan Tentara PETA
tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan usulan dari
rakyat Indonesia. Selanjutnya, dipilihlah Gatot Mangkupraja, seorang nasionalis
yang bersimpati kepada Jepang, untuk mengajukan permohonan kepada Gunseikan
supaya dibentuk tentara yang anggotanya terdiri dari orang Indonesia. Pada tanggal
7 Desember 1943 Gatot Mangkupraja mengirimkan surat permohonan kepada
Gunseikan. Tidak lama kemudian permohonan itu dikabuli dengan dikeluarkannya
Osamu Seirei no.44 tanggal 3 Oktober 1943.
Perhatian
dan minat para pemuda terhadap tentara PETA ternyata sangat besar, terutama
pemuda yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah menengah dan yang telah
tergabung dengan seinendan. Berbeda dengan Heiho, didalam PETA terdapat 5 macam
tingkat kepangkatan, yaitu berikut ini.
1.
Daidanco
(komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti
pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamongpraja, politikus, dan penegak hukum.
2.
Cudanco
(komandan kompi) dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun belum
mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
3.
Shodanco
(komandan peleton) pada umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan
pertama atau sekolah lanjutan atas
4.
Budanco
(komandan regu) dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan sekolah rakyat.
5.
Giyuhei
(prajurit sukarela) dipilih dari kalangan pemuda tingkat sekolah rakyat.
Calon perwira PETA mendapat latihan
pertama kali di Bogor. Setelah mendapatkan latihan-latihan tersebut, tentara
PETA ditempatkan di daidan-daidan (batalion) yang tersebar di Jawa, Madura, dan
Bali. Semuanya berjumlah 66 daidan. Dalam perkembangannya ternyata anggota
tentara PETA di beberapa deidan merasa kecewa terhadap pemerintah pendudukan
Jepang. Kekecewaan tersebut mulai terjadipada tahun 1944, bahkan di beberapa
daerah menimbulkan pemberontakan yang terbesar adalah pemberontakan PETA
Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 14 February 1945 yang diikuti oleh sekitar
separuh dari sleuruh anggota deidan. Namun, pemberontakkan yang dipimpin oleh
Soepriyadi dan Moeradi itu dapat ditumpas oleh Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar