HELLO KITTY

HELLO KITTY
KITTY

Selasa, 01 Desember 2015

Perkembangan Pengaruh Barat terhadap Kehidupan Sosial Budaya

Perkembangan Pengaruh Barat terhadap Kehidupan Sosial Budaya

1.  Perubahan Struktur Sosial Masyarakat
Pembagian status (kedudukan) sosial pada zaman colonial Belanda ditetapkan dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927. Menurut peraturan tersebut penggolongan penduduk Indonesia sebagai berikut.
a.    Golongan Eropa dan yang dipersamakan
1.    Bangsa Belanda dan keturunannya
2.    Bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Portugis, Prancis, Inggris, dan lainnya.
3.    Orang-orang bangsa lain (bukan Eropa) yang telah dipersamakan dengan Eropa karena kekayaannya, keturunan bangsawan dan pendidikan.
b.    Golongan Timur Asing
Golongan ini terdiri dari golongan Cina, Arab, India, Pakistan, dan lain-lain. Mereka berada pada lapisan menengah.
c.    Golongan Pribumi
Golongan pribumi yaitu bangsa Indonesia asli (bumiputera) yang berada pada lapisan bawah. Dalam masyarakat pribumi dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan statusnya sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan lapisan atas.
a.    Lapisan Bawah
Lapisan bawah terdiri dari rakyat jelata dan merupakan penduduk terbesar dan hidup melarat. Mereka tinggal di desa-desa sebagai petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya.
b.    Lapisan Menengah
Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah, petani-petani kaya dan pegawai.
c.    Lapisan Atas
Lapisan atas terdiri atas keturunan-keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah. Pada umumnya mereka terbagi-bagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan tingkat kedekatan hubungan darah mereka dengan raja. Golongan ini biasanya disebut elite tradisional dan elite daerah.
Disamping elite tradisional muncul juga elite temporer atau disebut juga elite agama. Kedudukan mereka pada lapisan atas sulit untuk diturunkan kepada anak cucunya. Termasuk mereka merupakan pemuka-pemuka agama sebagai pemimpin rohani, seperti ulama, dan kiai yang sangat berpengaruh tidak hanya di daerahnya, tetapi jauh melampaui batas-batas wilayahnya. Perlawanan-perlawanan daerah terhadap kolonialis dan kapitalis asing maupun terhadap elite trandisional banyak dipimpin oleh elite agama tersebut.
2.  Perluasan Pengajaran dan Mobilitas Sosial
Perluasan pengajaran makin menarik perhatian rakyat. Sekolah kemudian dianggap sebagai alat untuk dapat memasuki tingkatan hidup baru yaitu “hidup kepriyayian”, bagi golongan bawah dan untuk menambah dasar legitimasi bagi golongan atas. Kesempatan tersebut semakin luas dengan dimulainya pelebaran kelas pegawai oleh pemerintahan colonial. Hal ini mengancam kedudukan pegawai lama yang hanya bertopang pada kebanggaan keturunan.
Dengan penyebaran pengajaran, maka lapangan kerja baru diperluas dan disesuaikan dengan spesialisasi ilmu yang dimiliki sehingga kesempatan yang tersedia seharusnya sepadan. Akan tetapi, dengan adanya deskriminasi rasial maka seseorang yang memiliki kemampuan yang sama dalam kesempatan kerja dibedakan. Orang kulit putih dan anak-anak bangsawan serta pejabat tinggi pemerintah diutamakan. Sebagai akibatnya muncullah golongan terpelajar yang berada diluar sistem birokrasi pemerintah colonial Belanda. Karena kepincangan inilah  mereka bersikap menolak sistem colonial. Mereka itulah yang kemudian terpanggil untuk memimpin Pergerakan Nasional.
3.  Kedudukan dan Peran Wanita dalam Kehidupan Masyarakat
Gagasan tentang kemajuan, khususnya dikalangan kaum wanita muncul pada diri R.A Kartini (1879-1904). Gagasan tersebut dituangkan dalam surat-surat pribadinya yang diterbitkan pada tahun 1912 atas usaha J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Penerbitan buku ini menimbulkan rasa simpati mengenai gerakan emansipasi wanita di Indonesia.
Kedudukan wanita pada masa Kartini menulis suratnya tertanggal 25 Mei 1899 kepada Stella Zeehandelaar, seorang gadis Belanda, dikisahkan sebagai berikut : “kami gadis-gadis masih terikat oleh adat-istiadat lama dan sedikit sekali memperoleh kebahagiaan dari kemajuan pengajaran. Untuk keluar rumah sehari-hari dan mendapatkan pelajaran di sekolah saja sudah dianggap melanggar adat. Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun, maka saya dikurung didalam rumah, saya mesti masuk “kurungan”. Saya dikurung didalam rumah seorang diri, sunyi senyap, terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar dunia itu lagi, bila tidak disertai oleh seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi saya, dipilih oleh orang tua saya untuk saya, dikawinkan dengan saya tanpa sepengetahuan saya sendiri”.
Kehidupan gadis semacam itu sebenarnya hanya terdapat pada kalangan menak (bangsawan) yang berbeda dengan gadis-gadis dari kalangan petani maupu  pekerja. Akan tetapi, keterbelakangan pendidikan menjadi pola yang umum pada mereka. Pada golongan petani dan pekerja, perkawinan dibawah umur sering terjadi seperti halnya golongan menak. Oleh karena itulah Kartini sangat mendambakan pengajaran bagi gadis-gadis.
Usahanya yang pertama ialah mendirikan sebuah kelas kecil bagi kepentingan gadis-gadis, yang diselenggarakan 4 kali seminggu. Murid-muridnya pertama sebanyak 7 orang. Mereka mendapatkan pelajaran membaca-menulis, kerjainan tangan, masak memasak dan menjahit. Terbitnya kumpulan surat-surat R.A Kartini memberikan ispirasi bagi munculnya pergerakan kaum wanita.
Perintis gerakan emansipasi wanita lainnya, yaitu Dewi Sartika. Dewi Sartika merupakan salah seorang dari 9 wanita yang menulis gagasannya bagi sebuah panitia pemerintahan Hindia Belanda yang menyelidiki sebab-sebab kemunduran kemakmuran penduduk di Jawa, khususnya kaum wanita.
Fase berikutnya dari gerakan wanita Indonesia, diawali dengan berdirinya sebuah perkumpulan Putri Mardika, yang bertujuan untuk mencari bantuan keuangan bagi gadis-gadis yang ingin melanjutkan pelajaran. Disamping itu juga memberikan penerangan dan nasihat yang baik bagi kaum putri. Sedangkan perkumpulan Kartinifonds (dana Kartini) didirikan pada tahun 1912 atas usaha Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer, yang bertujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah “Kartini”. Sekolah yang pertama didirikan di Semarang pada tahun 1913, kemudian menyusul di kota-kota Jakarta, Malang, Madiun danBogor.
Sejalan dengan itu muncul banyak sekali perkumpulan wanita, seperti Madju Kemuliaan di Bandung, Pawijatan Wanita di Magelang, Wanito Susilo di Pemalang, Wanita Hadi di Solo dan banyak lagi di lain tempat. Selain itu organisasi keagamaan pun memiliki bagian organisasi kewanitaanya, seperti Wanito Katholik, Aisyiah dari Muhammadiyah, Nahdatul Fataad dari NU dan Wanudyo Utomo dari SI
Di Sumatera, Karadjinan Amai Setia didirikan di kota Gadang pada tahun 1914, yang bertujuan meninggikan derajat wanita dengan jalan pelajaran menulis, berhitung dan membaca, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan tangan dan mengatur pemasarannya. Sedangkan di Padang berdiri keoetaman Istri Minangkabau, yang bertujuan untuk menyebar luaskan pengetahuan umum, pendirian sekolah industry dan kerajinan wanita. Di Bukit Tinggi berdiri serikat kaum Ibu Sumatera. Di Gorontalo berdiri Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwenvereeniging dan di Ambon berdiri Ina Tuni, yang merupakan bagian dari sekrikat Ambon.
Sejak tahun 1920 jumlah pekumpulan wanita bertambah banyak sekali. Apabila pada awal perkembangannya banyak dipelopori oleh para wanita dari kalagan ningrat, maka pada masa ini peranan golongan ningrat sudah tidak kentara lagi. Hal ini didorong oleh semakin luasnya pengajaran bagi kaum wanita dan adanya kesediaan organisasi-organisasi yang ada untuk membentuk bagian kewanitaan.
Perkembangan gerakan wanita kearah kegiatan politik semakin nampak setelah kaum wanita ikut ambil adil dalam kegiatan SI, PKI, PNI dan PERNI. Pergerakan kaum wanita mengikuti jejak kaum pergerakan nasional. Kongres Wanita pertama diadakan pada tanggal 22 Desember 1928 setelah mendapatkan pengaruh dari diselenggarakannya Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Kongres Wanits tersebut mealhirkan Perserikataan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Tanggal 22 Desember kemudian diperingati sebaagai “Hari Ibu” sebagai hari lahirnya kesadaran yang mendalam wanita Indonesia tentanng nasibnya, kewajibannya, kedudukannya dan keanggotaannya dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar